Cari Blog Ini

Selasa, 14 Desember 2010

WENDERING SANTRI'S

Kelulusan siswa-siswa setingkat SMU telah diumumkan, dengan segala kekurangan, kecurangan dan kekontropersialnya Ujian Nasional, kita pun berujar, “Selamat bagi mereka yang lulus dan bersabarlah bagi mereka yang belum lulus.” Diantara para siswa yang lulus itu, terdapat beribu-ribu siswa yang belajar dan mondok di pesantren. Di benak para siswa yang sekaligus santri ini, segera hendak melanjutkan kuliah. Mayoritas santri melanjutkan ke sekolah-sekolah agama. Namun, ada juga akhirnya memilih bidang-bidang lain semisal manajemen, sosiologi, psikologi bahkan ada yang melanjutkan ke jurusan MIPA, Teknik,  Kedokteran dan yang lainnya.
Dunia pesantren, mempunyai spirit al-muhafadzah ‘ala al-qadimi shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi ashlah, menjaga nilai dahulu yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik. Melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi merupakan wa al-akhdzu bil-jadidi ashlah. Zaman sekarang ini, terlebih di Indonesia yang masih “mementingkan” gelar-gelar akademis, manusia tidak akan “diakui” atau “dilirik” secara keilmuannya bila tidak bergelar. Seorang santri yang selepas lulus Madrasah Aliah tidak melanjutkan sekolah tetapi memilih terus nyantri di Pesantren, “biasanya” di mata masyarakat kurung diperhitungkan lagi, padahal secara keilmuan mungkin ia lebih pandai ketimbang sarjana-sarjana jebolan IAIN. Kita boleh menyayangkan fakta ini, bahkan untuk mencacinya. Namun, satu pepatah berkata, min husnil-islami al-mari’ ‘ilmuhu bizamanihi, diantara ciri baiknya keislaman seseorang adalah menguasai ilmu tentang zamannya.
Sebenarnya, sekalipun para santri melanjutkan sekolah ke bangku kuliah, mereka masih bisa almukhafadhah ‘ala qadimi as-shalih, menjaga nilai lama yang baik. Mereka masih bisa ngaji dan nyantri, yaitu dengan menjadi wandering santris atau  at-thulab al-mutajawwilîn atau “santri keliling”.
Bila kita membaca bioghrapi para ulama pesantren, selalu kita mendapatkan satu tradisi yang disebut “santri keliling” ini. Para santri selalu berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain dengan tujuan memperdalam ilmu agama atau untuk menguasai betul satu fan (cabang) ilmu. Oleh karena itu, seorang santri pada zaman dahulu, jarang yang hanya nyantri di satu pesantren saja.
Santri keliling pun berada dalam dua posisi: pertama, santri yang setelah belajar di satu pesantren, berpindah ke pesantren lain. Sebagai contoh, KH. Zaenal Musthafa berkelana dari satu perantren ke pesantren lain selama 17 tahun. Setelah menamatkan sekolah rakyat (SR) ia nyantri dan modok di Pesantren Gunungpari, kemudian ke Pesantren Cilenga, Pesantren Sukaraja, Pesantren Sukamiskin dan Pesantren Jamanis. Kedua, santri yang belajar di satu pesantren sambil modok di sana tetapi di waktu-waktu lain ia mengikuti pengajian di pesantren lain. KH. Abdurrahman Wahid misalnya, ketika nyantri dan modok di Pesantren Tambak Beras, tetapi pada selasa dan jumat siang ia belajar ke Kiai Bisri di Denyanar.   
Ada dua manfaat yang bisa diutarakan dari sistem belajar “keliling” ini, dan telah terbukti dalam sejarah: 1) Santri bisa belajar kepada seorang Kiai yang benar-benar ahli dalam satu cabang ilmu. Sebab, setiap pesantren mempunyai satu cabang ilmu yang menjadi kebanggaan, menjadi fokus pembelajaran. Dikenallah sebutan, pesantren ‘ilmu alat, pesantren tafsir, pesantren hadits, pesantren fikih dan yang lainnya. 2) Ikatan persaudaraan antar pesantren dan antar santri terjaga kuat. Dengan menciptakan tradisi at-thulab al-mutajawwilîn dunia pesantren dahulu mencapai kejayaannya sampai bisa mengikat diri dalam satu naungan organisasi yang menjadi kebanggaan Bangsa, Nahdhatul Ulama (NU).
Nah, di sela-sela kesibukan di kampus, mereka bisa sorogan ke kiai terdekat di kampus, entah seminggu sekali atau dua-tiga kali, mereka masih bisa ngaji di pesantren. Atau, kalau malas atau tidak sempat untuk mengaji rutin, mereka bisa memanfaatkan waktu-waktu liburan kuliah dengan mengaji. Sampai sekarang, banyak para mahasiswa yang kerap mengisi liburan kuliah, biasanya sepelas Ujian Akhir Semester, dengan mendatangi pesantren dan ngaji  satu-dua-tiga kitab. Memang waktu belajar dua bulan sangatlah minim. Bisa apa kita belajar hanya dua bulan?! Tetapi, satu qaidah ‘ushul fikih berkata, “ma la yudraka kulluh wa la yutraku kulluh, sesuatu yang tidak bisa dicapai semuanya janganlah dibuang semuanya”. Ketimbang tidak ngaji sama sekali, ya mending ngaji walau hanya sebentar.
Dengan “menghidupkan” tradisi “santri keliling”, mentalitas kesantrian yang sudah didapat selama belajar di pesantren inysa allah akan terjaga dengan baik. Mentalitas yang tidak merasa puas dengan ilmu. Mentalitas yang tidak akan meresa cukup karena masyarakat sudah memanggil “ustadz”. Biasanya, para santri yang melanjutkan kuliah, oleh masyarat kota – masyarakat baru tempat mereka studi – suka disuruh untuk mengisi cerah di Mesjid, mengajar di Madrasah, mengisi masjid ta’lim, imam shalat dan sebagainya. Bencana terjadi, karena merasa sudah “nikmat” dengan panggilan ustadz, mereka tidak mau lagi menggali kitab-kitab. Akhirnya, bermunculanlah, dalam bahasa Ulil Abshar Abdalla, “ustadz-ustadz tiban”. Mereka inilah, orang-orang yang sangat berbahaya bagi agama dan umat. Mentang-mentang sudah nyantri enam tahun, merasa sudah menjadi ustadz hebat. Padahal, apalah artinya belajar hanya enam tahun?! “Nanti di akhir zaman, manusia akan bertanya tentang agama kepada orang-orang yang tidak pandai agama,” demikian satu isyarat Rasulullah Saw dalam satu haditsnya.
Seperti sudah disinggung di atas, tradisi wandering santris sampai detik masih bisa kita temui. Para santri yang tekun masih setia menjaga tradisi baik zaman kuno ini. Namun, mereka yang setia kepada tradisi ini kiranya tidak terlalu banyak. Mayoritas santri yang melanjutkan studi ke bangku kuliah, sudah merasa “puas” dengan apa yang mereka dapatkan di bangku kuliah. Terlebih mereka yang melanjutkan studi ke jurusan non-agama. Padahal, bagi mereka yang studi ke jurusan kimia misalnya, dengan menjadi wandering santris, dalam benak dan diri mereka akan tertancap pemahaman dialogis anatara firman Allah yang berupa kauniyyah dan qauliyyah. Bukankan ini yang menjadi “obsesi” semua ilmuan Muslim?! Bahkan, ketika mengkritik kehidupan kampus, Methaf Limpan menulis dalam bukunya Theaching and Education, “Sepesifikasi dalam ilmu adalah kutukan bagi dunia akdemis.”
Kita pun merasa miris akhir-akhir ini, dengan bermunculannya ikatan alumni satu pesantren tertentu. Insya Allah, niat mereka ini baik. Namun, fakta membuktikan, perkumpulan alumni satu pesantren menyebabnya hilangnya ikatan yang kuat dengan pesantren yang lain. Alumni-alumni pesantren A hanya mengurus pesantrennya itu. Apa yang terjadi? Alumni pesantren A akhirnya tidak mau untuk belajar ke Kiai di pesantren B. Tradisi at-thulab al-mutajawwilîn pun sedang menuju kematiannya. Belum lagi, jika bendera partai yang berbeda telah dikibarkan oleh pesantren yang berbeda pula. Jika sudah begitu, bukan tradisi at-thulab al-mutajawwilîn yang akan hilang, bisa jadi satu pesantren bersitegang dengan pesantren lain gara-gara beda partai. Dan ini sudah benar-benar terjadi di beberapa daerah yang dikenal sebagai kantong pesantren. []

1 komentar:

  1. yanhg sya harapkan ... semoga saja generasi indonesia siapapun dia bisa memenuhi kafasitas inteleknya dengan berbagai cara,, miris dengan kejadian sekarang yang banyak generasi Indonesia hanya membuang-buang waktu

    BalasHapus