Cari Blog Ini

Selasa, 14 Desember 2010

Menyadari Kemutlakan Tuhan dan Kelemahan/Kenisbian (Kita) Manusia: Mencoba Sedikit Menguarai Makna Kalimah Thayyibah

Dasar dari risalah Tuhan dari semenjak para rasul pertama sampai Muhammad Saw., adalah lâ ilâha illa allâh. Kita suka menyebut kalimat ini dengan kalimah thayyibah, “kalimat suci”. Pengertian “suci” disini bisa kita dekati dengan dua pemaknaan: pertama, kalimat ini difirmankan Dia yang “Suci”; kedua, kalimat ini merupakan kalimat untuk men-“suci”-kan Tuhan dari segala hal. Nah, di makna yang kedua inilah kita sering mendapatkan pemaknaan yang keliru. Dalam pergerakan sejarahnya, makna tayyibah dalam kesucian kalimah ini seringkali dimaknai dengan dengan ketidak-jujuran kita dalam “menerjemahkan”. Maksud saya “tidak jujur”, kita suka menerjemahkannya dengan “tidak ada Tuhan selain Allah”. Kita menerjemahkan lâ ilâha illa kedalam bahasa Indonesia, sementara allâh kita biarkan dalam bahasa Arab. Terjemahan seperti inilah yang “sering” memberikan pengertian yang salah tentang kalimah thayyibah dan secara langsung memberikan pengertian yang salah juga tentang Tuhan.
Dengan terjemahan “tidak ada Tuhan kecuali Allah”, terciptalah kesan bahwa Tuhan umat Islam dengan Tuhan umat-umat yang lain adalah Dzat yang berbeda, bahwa Allah hanyalah salah satu saja dari sekian tuhan yang lain. Tuhannya Islam adalah Allah, Tuhannya Kristen adalah Bapak, Tuhannya Yahudi adalah Yahweh, Tuhannya Kong Huchu adalah Tien dan yang lainnya. Di dunia yang diisi oleh pelbagai agama ini, mudah sekali kita terperosok kepada “politeisme” yang tak sadar, yang mengesankan bahwa di “langit” sana ada tuhan-tuhan yang bersaing memperebutkan iman manusia seperti para pemimpin partai politik memperebutkan pendukung. Padahal Al-Quran berfirman,
لَوْكَانَ فِيهِمَآ ءَالِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Seandainya ada tuhan-tuhan di langit dan di bumi ini, niscaya keduanya itu hancur.” (Q.S. Al-Anbiya’: 22)
Dalam ayat ini, Al-Quran memakai kata kerja lamapu (fi’il madhi, yaitu kâna). Artinya, jika ada yang berargumen atau bertanya, “Bagaimana kalau nanti hari kiamat tiba, bukankah langit dan bumi pada masa itu hancur, apakah Tuhan itu menjadi banyak?!” Argumen atau pertanyaan ini tertolak, sebab hari kiamat ini posisinya “waktu yang akan datang”, sedangkan ayat ini membicarakan “waktu yang telah terjadi”. Jadi, makna ayat ini adalah karena sampai saat ini langit dan bumi itu tidak hancur maka Tuhan itu adalah Esa.
Dari sini kita paham bahwa Tuhan itu Esa, namun tiap agama menyebut Dia dengan nama yang berbeda-beda. Al-Quran juga berfirman,
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدَ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Seandainya tidak karena Tuhan menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu hancurlah semua biara, gereja, sinagog dan mesjid yang di dalam bangunan-bangunan itu banyak disebut nama Tuhan Yang Maha Esa (Allâh). Tuhan pasti menolong siapa saja yang menolong (tegaknya risalah)-Nya. Sesungguhnya Dia itu Mahakuat lagi Mahamulia.” (Q.S. Al-Hajj: 40).
Dari ayat Al-Quran ini jelas sudah difirmankan bahwa sebutan umat-umat lain kepada Tuhan Yang Maha Esa diakui oleh Al-Quran. Al-Quran tidak mempermasalahkan “sebutan”. Sebutan umat lain kepada Tuhan Yang Maha Esa diakui dan dilindungi oleh Al-Quran, sekalipun berbeda dengan sebutan kita kaum muslim.      
Jadi, terjemahan yang tepat untuk kalimah thayyibah pun menjadi “Tiada tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Alif lam pada kata allâh untuk menerangkan Yang Maha Esa (dalam bahasa Arab dikenal ma’rifah). Al-Quran juga berfirman,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ {1} اللَّهُ الصَّمَدُ {2}
“Katakanlah, ‘Dialah Allah (sebutan kaum Muslim kepada Tuhan-Nya), yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang tiada yang sebanding kepada-Nya segala sesuatu.” (Q.S. Al-Ikhlas: 1-2).
Maka, makna yang bisa ditarik secara gamblang dari kalimah thayyibah ini adalah “tiada tuhan selain Tuhan itu sendiri” karena tiada yang sebanding dengan-Nya segala sesuatu apa pun. Laisa kamislihi syaiun!!!
“Tiada yang sebanding dengan-Nya segala sesuatu apapun”, sepintas ungkapan ini sederhana saja. Namun, mungkin benar apa yang dikatakan pepatah “yang sederhana itulah justru yang sangat rumit”. Sungguh, sangat sukar mendapatkan (apalagi memberikan) pemahaman “tiada yang sebanding dengan-Nya segala sesuatu apapun”. Karena apa? Karena “pemahaman kita akan Tuhan merupakan susuatu, dan secara pasti pemahaman ini bukanlah Tuhan, karena Tuhan bebeda dengan segala apa pun”. Singkatnya, Tuhan itu adalah Yang Maha Lain.
Kita ambil sebuah contoh. Berhala! Kenapa berhala atau pemberhalaan dalam Islam ditolak atau ditampik (dikenal dengan syikir dan yang melakukannya disebut musyrik)? Jawabannya, karena ketika manusia membuat berhala sebenarnya ia sedang merumuskan atau mentemakan Tuhan sejauh apa yang ia pahami tentang Tuhan. Ia membayangkan bahwa berhala itu sebagai Tuhan, berhala itu sebagai representasi dari Tuhan. Kemudian apa yang dilakukannya ialah mengidentifikasikan wujud yang disembah itu sebagai Tuhan sendiri. Orang menyembah berhala telah “menganalogikan” Tuhan menurut apa yang berhasil ia pahami tentang Tuhan yang ia representasikan pada sebuah berhala. Jadi, syikir pada mulanya adalah sebuah analogi, sebuah pemisalan tentang Tuhan. Orang yang syirik (musyrik), orang yang menyembah berhala, adalah mereka yang “menyamakan” Tuhan dengan “pikiran” mereka yang direpresentasikan pada patung atau arca.
“Menyamakan” itu tidak hanya sekedar dengan membuat arca atau patung. Berhala juga bisa berwujud suatu gambaran, suatu citra (image), suatu pemberian identitas, suatu rumusan oleh manusia, bahkan suatu “pemahaman” tentang Tuhan yang diklaim sebagai representasi Tuhan yang final. Perlu dingat sekali lagi, pemahaman tentang Tuhan bukanlah Tuhan!!! Artinya, pemahaman manusia akan Tuhan tidaklah akan sampai pada posisi Kebenaran Mutlak, sebab hanya Tuhan-lah Yang Maha Mutlak.   
Tahulah kita sekarang bahwa “Tiada tuhan kecuali Tuhan itu sendiri” mempunyai makna sangat begitu mendalam. Bila kita coba bahasakan maka kalimah thayyibah ini: Tuhan itu tidak mungkin dicapai oleh makhluk, sebab makhluk itu nisbi sementara Dia Maha Mutlak. Tuhan itu tidak mungkin dipahami, tidak mungkin di bahasakan, sebab pemahaman dan bahasa adalah sesuatu yang nisbi belaka. Tuhan itu tidak bisa dipahami sebagaimana kita memahami rumus matematika, dalam proses satu titik awal sampai tiba di titik akhir. Singkatnya, Tuhan adalah Tuhan.
Tetapi, ada sesuatu yang sangat dilematis disini. Bagaimana Tuhan yang Maha Lain itu, akan kita hadirkan pada benak atau kesadaran kita dan kesadaran orang lain? Bukankah ini tidak mungkin?  
Manusia mau tak mau pasti akan menggunakan pikirannya. Manusia juga punya kehausan paca indra. Manusia juga tidak selamanya akan merasa cukup dengan hanya tergetar oleh Yang Maha Lain yang tak mungkin terbahasakan atau terlukisakan itu. Sementara itu, wahyu hanyalah turun kepada Rasulullah (utusan Tuhan). Rasul pun harus merumuskan dan menggunakan bahasa, menyampaikan kepada orang lain, kepada umat. Beliau harus mengungkapkannya dalam komunikasi. Maka, mau tidak mau, wahyu yang semula datang dari Yang Maha Mutlak haruslah bergumul dengan kenisbian makhluk, kenisbian ruang, kenisbian waktu, kenisbian sejarah.
Rasul pun segera menyampaikan pesan-pesan dari-Nya. Ini bukan tanpa resiko. Tuhan yang disampaikan oleh Rasul, mau tidak mau, adalah Tuhan yang akhirnya terserap oleh pikiran, adalah Tuhan yang direpresantasikan dengan lambang dan identifikasi, dengan lambang dan personifikasi.
Nah, lalu bagaimana menjaga Ke-Maha-Suci-an Tuhan, menjaga Ke-Maha-Lain-an Tuhan, yang tak ada bandingnya itu? Jawaban yang bisa diberikan adalah sikap terbuka ataun inklusif. Artinya, karena kita adalah makhluk yang secara pasti bersipat terbatas atau nisbi, maka kita harus mengakui bahwa apa pun yang kita pahami tentang Tuhan bukanlah pemahaman yang mutlak. Orang lain, umat lain, agama lain, juga punya hak untuk memahami Tuhan menurut apa yang mereka pahami. Maksudnya, setiap kita mempunyai hak untuk memahami Tuhan sejauh yang mampu kita lakukan, dalam pada itu kewajiban kita adalah tidak mengklaim bahwa pemahaman kita tentang Tuhan itu adalah mutlak, sebab hanyalah Dia Yang Maha Mutlak. Itu sebabnya dalam satu hadits dikabarkan bahwa Nabi Saw. pernah bertanya kepada seorang perempuan tua, “Kalau nenek percaya kepada Tuhan Yang Esa (Allâh), dimanakah Dia itu?” tanya Rasul. Lalu perempuan itu menunjuk ke langit.  Kemudian Nabi berkata dengan rileks, “Engkau benar.” Lalu, setelah si Nenek tua itu pergi, para sahabat memprotes Nabi Saw., “Al-Quran menyebutkan bahwa Dia itu ada di mana-mana. Kenapa Nabi membenarkan perempuan tua yang berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada di langit?” Kemudian Nabi Saw. bersabda, “Itulah yang dipahami oleh nenek tua itu. Kamu sekalian tidak usah mengganggunya.”   
Al-Quran juga berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-‘Ankabut: 69).
يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمْ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Maidah: 16).
Dari dua ayat di atas, kita tahu bahwa Tuhan membuat jalan keselamatan itu tidaklah tunggal, melainkan plural.
 وَقَالَ يَابَنِيَّ لاَتَدْخُلُوا مِن بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَآأُغْنِي عَنكُم مِّنَ اللهِ مِن شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Dan Ya'qub berkata, ‘Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian Aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah Aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri.” (Q.S. Yusuf: 67).
Di ayat ini pun Al-Quran berfirman dengan abwâb (pintu-pintu, bentuk jamak dari bâb). Artinya, sekali lagi, pintu menuju keselamatan itu tidaklah tunggal melainkan plural. Di ayat lain, Al-Quran juga berfirman bahwa pluralisme atau keragaman jalan itu merupakan sunnatullâh. Kita perhatian ayat berikut,
وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan Kami Telah turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian semua kembali lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Q.S. Al-Maidah: 48).
Itu sebabnya Al-Quran berfirman bahwa agama yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Islâm.
 إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama menurut Tuhan Yang Maha Esa adalah kepasrahan kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran: 19).
Dengan firman ini kita paham bahwa Islâm adalah inti dari agama yang benar. Karena itu, semua jalan keselamatan itu disebut islâm, agama yang benar itu adalah islâm, agama yang mengajarkan bahwa “tiada tuhan kecuali Tuhan Yang Esa”, “tiada tuhan kecuali Tuhan itu sendiri”. Dalam pemahaman ini, satu agama, termasuk agama yang dibawa Muhammad Saw., tidaklah unik. Ia tidak berdiri sendiri dan terpisah. Sebab, hanyalah Tuhan yang berdiri sendiri, hanyalah Tuhan yang unik.
Mari kita dengarkan penjelasan kata Islâm dari Imam Raghib Al-Isfahani,
والإسلام في الشرع على ضربين:
أحدهما: دون الإيمان، وهو الاعتراف باللسان، وبه يحقن الدم، حصل معه الاعتقاد أو لم يحصل، وإياه قصد بقوله: {قالت الأعراب آمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا} [الحجرات/14]. والثاني: فوق الإيمان، وهو أن يكون مع الاعتراف اعتقاد بالقلب، ووفاء بالفعل، واستسلام لله في جميع ما قضى وقدر، كما ذكر عن إبراهيم عليه السلام في قوله: {إذ قال له ربه أسلم قال أسلمت لرب العالمين} [البقرة/ 131]، وقوله تعالى: {إن الدين عند الله الإسلام} [آل عمران/19].
Di dalam syari’at, Islam itu ada dua macam: [1] di bawah iman, yakni hanya mengakui dengan lidan saja. Dengan begitu darahnya terpelihara, tidak jadi soal apakah keyakinannya masuk kedalamnya atau tidak. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya, “Berkatalah orang baduy itu, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah olehmu Muhammad, ‘Kamu belum beriman, tetapi katakan oleh kalian, ‘Kami telah Islam.” (Q.S. Al-Hujrat: 14). [2] Islam yang diatas iman, bersama dengan pengakuan lisan, juga dalam hati, dan diamalkan dalam perbuatan, dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam segala hal yang telah Dia tetapkan dan tentukan. Seperti yang diingatkan dalam kisah Ibrahim ketika Tuhan berkata kepadanya, “Islamlah (pasrahlah).” Ibrahim berkata, “Aku berparsah kepada Pemeliraha Seluruh Alam.” (Q.S. Al-Baqarah: 131). Dan firman Tuhan yang lain, “Sesungguhnya agama menurut Tuhan adalah kepasrahan kepada-Nya (Islâm).” (Q.S. Ali Imran: 19).
(Lihat, Mufradat Al-Quran [Beirut: Dar Al-Syamsyiyyah, 1996], hal: 423)   
Dengan mengakui pluiralisme, kita telah terhindar dari syirik. Sebab, kita menjauhkan Yang Maha Lain setera dengan pemahaman kita kepada-Nya. Sebab, kita tidak menyamakan Yang Maha lain dengan pikiran kita tentang-Nya. Dengan begitu, pluralisme adalah satu sikap pengakuan jujur bahwa diri kita ini lemah, diri kita ini nisbi, diri kita ini tidak akan bisa menjangkau Tuhan untuk selama-lamanya, diri kita (lebih tepatnya pikiran kita tentang-Nya) bukanlah Tuhan.
Karena jalan keselamatan itu tidaklah tunggal, maka secara pasti pahala Tuhan juga tidak diberikan kepada umat yang tunggal. Seperti ayat Al-Quran yang di atas telah kita kutip, “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Namun, sementara ulama ada yang punya argumen bahwa syari’at atau jalan yang dipakai umat terdahulu hanya berlaku di zaman mereka, adapun setelah datang Muhammad Saw. maka syari’at mereka itu terhapus. Dalil yang suka diberikan untuk mendukung argumen ini biasanya,
 مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىكُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami hapus, atau kami jadikan (Rasul) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Q.S. Al-Baqarah: 106).
Perlu ingat, ayat Al-Baqarah: 106 ini turun untuk merespon, sebagaimana diriwayatkan oleh Hatim dan Ikrimah, Nabi Muhammad Saw. yang terkadang lupa ayat Al-Quran. “Terkadang menerima wahyu di malam hari, namun siang harinya ia sudah lupa, kemudian turunlah ayat ini,” demikian kata dua sahabat Nabi Saw. tersebut. (lihat, Jalaluddin Abdurrahman As-Syuyuthi, Lubbanul-Asbabun-Nujul [Beirut: Dar Al-Fikr], tanpa tahun, hal: 18. Simak juga kitab-kitab asbabun-nujul lainnya, semuanya berkata demikian). Jadi, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan syari’at-syari’at selain atau sebelum Nabi Muhammad Saw.
Hemat penulis, mengukit jumhur ulama, tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang berkata bahwa syari’at-syari’at sebelum Muhammad Saw. adalah terhapus atau tertolak oleh Allah. Sebab, risalah Muhammad Saw. adalah risalah terakhir dan sempurna. Maksud “sempurna” disini adalah bahwa risalah Muhammad Saw. itu membawa syari’at yang secara subtansial menyerap syari’at-syari’at sebelumnya.
Al-Quran juga berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin (perlabagai agama selain Islam), siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, hari akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah: 62. Dengan redaksi yang sedikit berbeda, baca juga Al-Maidah: 69 dan Al-Hajj: 17).
Jelas-jelas terbaca di sana bahwa umat-umat lain pun berhak mendapat pahala dari-Nya sepanjang mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Hari Akhir.
Ada yang berkata bahwa Yahudi, Nasrani dan Shabiin disana adalah orang-orang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasul, sebelum dalatang Al-Quran. Hemat saya, tafsiran demikian tidak didukung oleh ayat-ayat Al-Quran yang lain. Tafsiran demikian hanya “dugaan” atau “pendapat” manusia. Padahal, dalam ilmu tafsir, sebisa mungkin kita harus menafsirkan satu ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran lainnya, dan inilah tafsir yang paling valid, dikenal dengan sebutan Tafsir bil-Ma’tsûr.
Sekarang, jika pembaca membutuhkan penjelasan, mari kita simak tafsir Syekh Muhammad Rasyid Ridha,
Hukum Tuhan itu adil dan sama. Ia memperlakukan semua pemeluk dengan sunnah yang sama, tidak berpihak kepada satu kelompok dan menzhalimi kelompok lainnya. Ketetapan sunnah ini adalah bahwa bagi mereka pahala tertentu dengan janji Tuhan melalui rasul mereka. Tidak ada ketakutan bagi mereka dari siksa Tuhan….
Ayat ini menjelaskan sunnahtullâh dalam memperlakukan umat-umat yang baik (shalih) baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Tuhan: “(Pahala dari Tuhan) itu bukan menurut angan-anganmu (pengikut syari’at Muhammad Saw) yang kosong, tidak pula menurut Ahli Kitab. Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong baginya selain dari Tuhan. Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam sorga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (Q.S. An-Nisa: 123-124)…
Tidak masalah kalau tidak menyatakan iman kepada Muhammad Saw. Ayat ini menjelaskan perlakuan Tuhan kepada setiap kelompok atau umat yang mempercayai nabi dan wahyu-Nya masing-masing. Yang mengira bahwa kebahagiaan hari akhir seakan-akan pasti dan akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nasrani atau Shabiin, misalnya; maka Tuhan berfirman bahwa kebahagiaan bukan karena lembaga keagamaan (jinsiyyah diniyyah). Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia..
 (Lihat, Tafsir Al-Manar, jilid 1, hal: 337).
Sekali lagi saya ingatkan, karena manusia adalah nisbi belaka, maka konsekuensi dari sini adalah kemestian pengakuan pluralisme. Oleh karena itu pula, kita telah melihat, bahwa pluralisme itu adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak. Maka makna mendalam dari kalimah thayyibah itu tiada lain adalah bahwa semua agama yang mengakui kenisbian manusia, kenisbian pemahaman manusia akan Tuhan, adalah agama yang benar, agama yang akan mengantarkan untuk pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa (islâm atau istislâm atau taslîm).  
Akhirnya, sebagai penutup pembicaraan kita pada kesempatan yang singkat ini, saya ingin berujar bahwa siapa saja yang paham makna kalimah thayyibah secara benar, mereka akan mengakui keterbatasan dirinya dalam menjangkau pemahaman tentang Tuhan, sehingga akhirnya akan tercipta kesadaran bahwa pemahaman kita tentang Tuhan hanya sejenis usaha manusia untuk bisa bertuhan secara benar, dan manusia memang hanya dituntut Tuhan untuk berusaha adapun hasilnya diserahkan kepada-Nya semata.
Terakhir, saya ingin mengutip satu ayat Al-Quran lagi,
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلاَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah olehmu Muhammad, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti kalian, yang mana diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya tuhan kalian itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga.”(Q.S. Al-Kahfi: 110).
Wallâhu ‘alam bi as-shawâb.

WENDERING SANTRI'S

Kelulusan siswa-siswa setingkat SMU telah diumumkan, dengan segala kekurangan, kecurangan dan kekontropersialnya Ujian Nasional, kita pun berujar, “Selamat bagi mereka yang lulus dan bersabarlah bagi mereka yang belum lulus.” Diantara para siswa yang lulus itu, terdapat beribu-ribu siswa yang belajar dan mondok di pesantren. Di benak para siswa yang sekaligus santri ini, segera hendak melanjutkan kuliah. Mayoritas santri melanjutkan ke sekolah-sekolah agama. Namun, ada juga akhirnya memilih bidang-bidang lain semisal manajemen, sosiologi, psikologi bahkan ada yang melanjutkan ke jurusan MIPA, Teknik,  Kedokteran dan yang lainnya.
Dunia pesantren, mempunyai spirit al-muhafadzah ‘ala al-qadimi shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi ashlah, menjaga nilai dahulu yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik. Melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi merupakan wa al-akhdzu bil-jadidi ashlah. Zaman sekarang ini, terlebih di Indonesia yang masih “mementingkan” gelar-gelar akademis, manusia tidak akan “diakui” atau “dilirik” secara keilmuannya bila tidak bergelar. Seorang santri yang selepas lulus Madrasah Aliah tidak melanjutkan sekolah tetapi memilih terus nyantri di Pesantren, “biasanya” di mata masyarakat kurung diperhitungkan lagi, padahal secara keilmuan mungkin ia lebih pandai ketimbang sarjana-sarjana jebolan IAIN. Kita boleh menyayangkan fakta ini, bahkan untuk mencacinya. Namun, satu pepatah berkata, min husnil-islami al-mari’ ‘ilmuhu bizamanihi, diantara ciri baiknya keislaman seseorang adalah menguasai ilmu tentang zamannya.
Sebenarnya, sekalipun para santri melanjutkan sekolah ke bangku kuliah, mereka masih bisa almukhafadhah ‘ala qadimi as-shalih, menjaga nilai lama yang baik. Mereka masih bisa ngaji dan nyantri, yaitu dengan menjadi wandering santris atau  at-thulab al-mutajawwilîn atau “santri keliling”.
Bila kita membaca bioghrapi para ulama pesantren, selalu kita mendapatkan satu tradisi yang disebut “santri keliling” ini. Para santri selalu berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain dengan tujuan memperdalam ilmu agama atau untuk menguasai betul satu fan (cabang) ilmu. Oleh karena itu, seorang santri pada zaman dahulu, jarang yang hanya nyantri di satu pesantren saja.
Santri keliling pun berada dalam dua posisi: pertama, santri yang setelah belajar di satu pesantren, berpindah ke pesantren lain. Sebagai contoh, KH. Zaenal Musthafa berkelana dari satu perantren ke pesantren lain selama 17 tahun. Setelah menamatkan sekolah rakyat (SR) ia nyantri dan modok di Pesantren Gunungpari, kemudian ke Pesantren Cilenga, Pesantren Sukaraja, Pesantren Sukamiskin dan Pesantren Jamanis. Kedua, santri yang belajar di satu pesantren sambil modok di sana tetapi di waktu-waktu lain ia mengikuti pengajian di pesantren lain. KH. Abdurrahman Wahid misalnya, ketika nyantri dan modok di Pesantren Tambak Beras, tetapi pada selasa dan jumat siang ia belajar ke Kiai Bisri di Denyanar.   
Ada dua manfaat yang bisa diutarakan dari sistem belajar “keliling” ini, dan telah terbukti dalam sejarah: 1) Santri bisa belajar kepada seorang Kiai yang benar-benar ahli dalam satu cabang ilmu. Sebab, setiap pesantren mempunyai satu cabang ilmu yang menjadi kebanggaan, menjadi fokus pembelajaran. Dikenallah sebutan, pesantren ‘ilmu alat, pesantren tafsir, pesantren hadits, pesantren fikih dan yang lainnya. 2) Ikatan persaudaraan antar pesantren dan antar santri terjaga kuat. Dengan menciptakan tradisi at-thulab al-mutajawwilîn dunia pesantren dahulu mencapai kejayaannya sampai bisa mengikat diri dalam satu naungan organisasi yang menjadi kebanggaan Bangsa, Nahdhatul Ulama (NU).
Nah, di sela-sela kesibukan di kampus, mereka bisa sorogan ke kiai terdekat di kampus, entah seminggu sekali atau dua-tiga kali, mereka masih bisa ngaji di pesantren. Atau, kalau malas atau tidak sempat untuk mengaji rutin, mereka bisa memanfaatkan waktu-waktu liburan kuliah dengan mengaji. Sampai sekarang, banyak para mahasiswa yang kerap mengisi liburan kuliah, biasanya sepelas Ujian Akhir Semester, dengan mendatangi pesantren dan ngaji  satu-dua-tiga kitab. Memang waktu belajar dua bulan sangatlah minim. Bisa apa kita belajar hanya dua bulan?! Tetapi, satu qaidah ‘ushul fikih berkata, “ma la yudraka kulluh wa la yutraku kulluh, sesuatu yang tidak bisa dicapai semuanya janganlah dibuang semuanya”. Ketimbang tidak ngaji sama sekali, ya mending ngaji walau hanya sebentar.
Dengan “menghidupkan” tradisi “santri keliling”, mentalitas kesantrian yang sudah didapat selama belajar di pesantren inysa allah akan terjaga dengan baik. Mentalitas yang tidak merasa puas dengan ilmu. Mentalitas yang tidak akan meresa cukup karena masyarakat sudah memanggil “ustadz”. Biasanya, para santri yang melanjutkan kuliah, oleh masyarat kota – masyarakat baru tempat mereka studi – suka disuruh untuk mengisi cerah di Mesjid, mengajar di Madrasah, mengisi masjid ta’lim, imam shalat dan sebagainya. Bencana terjadi, karena merasa sudah “nikmat” dengan panggilan ustadz, mereka tidak mau lagi menggali kitab-kitab. Akhirnya, bermunculanlah, dalam bahasa Ulil Abshar Abdalla, “ustadz-ustadz tiban”. Mereka inilah, orang-orang yang sangat berbahaya bagi agama dan umat. Mentang-mentang sudah nyantri enam tahun, merasa sudah menjadi ustadz hebat. Padahal, apalah artinya belajar hanya enam tahun?! “Nanti di akhir zaman, manusia akan bertanya tentang agama kepada orang-orang yang tidak pandai agama,” demikian satu isyarat Rasulullah Saw dalam satu haditsnya.
Seperti sudah disinggung di atas, tradisi wandering santris sampai detik masih bisa kita temui. Para santri yang tekun masih setia menjaga tradisi baik zaman kuno ini. Namun, mereka yang setia kepada tradisi ini kiranya tidak terlalu banyak. Mayoritas santri yang melanjutkan studi ke bangku kuliah, sudah merasa “puas” dengan apa yang mereka dapatkan di bangku kuliah. Terlebih mereka yang melanjutkan studi ke jurusan non-agama. Padahal, bagi mereka yang studi ke jurusan kimia misalnya, dengan menjadi wandering santris, dalam benak dan diri mereka akan tertancap pemahaman dialogis anatara firman Allah yang berupa kauniyyah dan qauliyyah. Bukankan ini yang menjadi “obsesi” semua ilmuan Muslim?! Bahkan, ketika mengkritik kehidupan kampus, Methaf Limpan menulis dalam bukunya Theaching and Education, “Sepesifikasi dalam ilmu adalah kutukan bagi dunia akdemis.”
Kita pun merasa miris akhir-akhir ini, dengan bermunculannya ikatan alumni satu pesantren tertentu. Insya Allah, niat mereka ini baik. Namun, fakta membuktikan, perkumpulan alumni satu pesantren menyebabnya hilangnya ikatan yang kuat dengan pesantren yang lain. Alumni-alumni pesantren A hanya mengurus pesantrennya itu. Apa yang terjadi? Alumni pesantren A akhirnya tidak mau untuk belajar ke Kiai di pesantren B. Tradisi at-thulab al-mutajawwilîn pun sedang menuju kematiannya. Belum lagi, jika bendera partai yang berbeda telah dikibarkan oleh pesantren yang berbeda pula. Jika sudah begitu, bukan tradisi at-thulab al-mutajawwilîn yang akan hilang, bisa jadi satu pesantren bersitegang dengan pesantren lain gara-gara beda partai. Dan ini sudah benar-benar terjadi di beberapa daerah yang dikenal sebagai kantong pesantren. []

SYARI'AT ISLAM DAN KEBINEKAAN


Malam kamis kemarin (27/01), statisun TV Tasikmalaya, TAZTV, Alhamdulillah telah berani menayangkan satu tayangan diskusi penting. Syariat Islam di Kota Santri, demikian terbaca oleh kita di layar tv. Tentu saja diskusi ini diangkat karena Kota Tasik telah ketuk palu mensahkan satu perda yang tidak dinamai Syari’at Islam namun yang “isi”-nya sangat bernuansa Islam. Yang menjadi pembicara adalah KH. Amin Bustomi, M.Ag dan Drs. H. Makhfuddin Noor, M.Si.
Kebetulan, waktu itu saya ikut nelpon – setelah berkali-kali – akhirnya terdengar juga suara saya di tv. Di sana saya berargumen bahwa kalau Islam di legalkan sebagai hukum dunia, maka akan menginjak ayat jangan ada paksaan dalam agama (Q.S. Al-Baqarah:256). Oleh KH. Amin disangkal bahwa asbabun nuzul ayat ini khusus untuk orang non-Muslim. Saya tak ingin menyangkal hal asbabun nuzul menurut KH. Amin ini, sekalipun kita masih bisa berdebat untuk hal ini. Yang pasti, jika agama dilegalkan jadi hukum dunia seperti PERDA, maka dimensi ikhlas dalam menjalankan agama menjadi rusak. Perempuan memakai kerudung (yang semula tidak), jika kerudung dilegalkan keharusannya dalam PERDA, bisa jadi karena PERDA bukan lillahita’ala lagi.
Yang ingin saya katakana kali ini, KH. Amin pun berulang-ulang berkata dengan pengertian berislam harus kaffah. Kita kutip ayatnya, “Hai orang-orang beriman masuklah kedalam Islam secara kaffah – menyeluruh.” (Q.S. Al-Baqarah: 208). Padahal, jika melihat asbab nuzul ayat ini, maksud orang beriman disana adalah, menurut Tafsir Al-Kasaf karya Az-Zamakhsyari, Ahlul-Kitab yang telah beriman kepada Rasulullah dan Al-Quran. Kejadiannya begini: Abdullah bin Salam, Taslabah, Said bin Umar, Qais bin Zaid dan yang lainnya, orang-orang Yahudi yang sudah masuk Islam, namun mereka masih suka menjalankan ritual-ritual agama lamanya, mereka masih melakukan ritual sabat dan membaca Taurat dalam shalat. Lalu, turunlah ayat ini. (Tafsir Al-Kasaf, 1:251. Lihat juga, Khasiah Shawi ‘ala Tafsir Jalalain, 1: 133, Tafsir Ibnu Katsir, 1:249, Tafsir Baidhawi, 1:492).
Barangkali, KH. Amin punya referensi Kitab Tafsir lain yang berkata bahwa pengertian bahwa “orang beriman” dalam Al-Baqarah 209 di atas adalah kaum beriman atau kaum muslim dalam satu masyarakat seperti masyarakat Kota Tasikmalaya. Nah, disinilah masalahnya, ternyata benar bahwa kita harus berimam kepada Al-Quran dan As-Sunah, namun masalahnya sejarah mencatat bahwa kaum muslimin berbeda dalam menafsirkan kedua pegangan kita itu. Lalu, dari perbedaan menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah, lahirnya perbedaan jalan menuju Allah (syari’at). Inilah yang salah satu maksud dari ujaran saya bahwa Syari’at Islam itu “burem”. Maksudnya, jika toh Syari’at Islam kita legalkan dalam pengertian PERDA, mau syari’at persi siapa? Jika toh dipilih syariat menurut beberapa ulama, lalu apakah pendapat ulama yang berbeda dengan syari’at yang dilegalkan itu tidak boleh didengar oleh umat? Jika sudah demikian, maka masalahnya jelas, kepentingan politik. Dan sejarah Islam mencatat, keterpurukan Islam di panggung sejarah justru karena tarik-menarik kepentingan politik yang memuakkan.        
Baiklah kita tinggalkan argumen saya yang terlalu, mungkin bagi sebagian pembaca, mengada-ada. Bukankah dalam Islam dikenal konsep ijma’ ulama? Baiklah jika PERDA itu hasil dari ijma’ ulama Tasikmalaya. “Barang siapa yang berpendapat sesuai dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah menunaikan ijma’ (konsensus). Sebaliknya, barang siapa yang bertolak belakang dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah melanggar konsensus. Kelalaian hanya terjadi dalam keterpecahan dalam mencapai konsensus. Sedangkan konsensus tidak akan melahirkan kelalaian terhadap makna Al-Quran, As-Sunah dan Qiyas (analogi),” demikian Imam Syafi’I menulis dalam magnum ofus-nya, Ar-Risalah.
Kalimat Imam Syafi’I di atas disoroti Muhammad Syaltut, mantan rektor Al-Azhar Mesir, dalam kitabnya Al-Islam: Aqidah wa Syari’ah dengan sangat hati-hati, sampai Syekh Syaltut memberikan empat hal mendasar dalam ijma’. 1) al-imam bisawail al-bahs wa al-nadhar. Orang yang terlibat dalam ijma’ harus mempunyai kemampuan dalam analisis dan sintesis. Paham ilmu linguistik, kaidah-kadiah syari’at, sosiologi dan yang lainnya. 2) tu’raf buldanuhum al-muntasyir fi al-aqalim. Konsep ijma’ harus mewakili keterwakilan wilayah. 3) an yu’rafa ra’yu kulli wahidin minhum. Keterwakilan dalam ijma’ meniscayakan sebuah penguasaan atas setiap masalah secara konprehensif. Maksudnya, sekelompok yang akan mengambil ijma’ sejatinya turun ke lapangan secara langsung dan mengetahui persoalan sedetail-detailnya, sampai pada apakah umat sudah siap belum untuk bisa menerima hasil Ijma’ nantinya. 4) ittifaquhum jami’an fiha ‘ala ra’yin wahidin. Konsep keterwakilan dalam ijma’ mengandaikan adanya konsensus yang nantinya akan dijadikan acuan bersama.
Jiika kita sepakat dengan empat landasan ijma’ dari Muhammad Saltut ini, sudahkan ijma’ ulama yang disahkan dalam PERDA bernuansa Islam itu sudah memenuhi empat syarat di atas. Menurut Muhajir, seorang penelepon dari kawalu dalam acara tv itu, PERDA ini terkesan terburu-buru. Sekalipun guru saya KH. Makhfuddin menganggap bahwa pendapat Muhajir ini terkesan su’udhan kepada ulama, tetapi menurut saya apa yang dikatan Muhajjir ini benar adanya. Sebab, satu kaidah saja kita lihat, an yu’rafa ra’yu kulli wahidin minhum, apakah mereka yang membuat konsensus itu benar-benar turun ke lapangan dan mendengar aspirasi masyarakat luas. Diadakan dialog terbuka dahulu sebelumnya misalnya?! Justru saya melihat konsensus yang jadi PERDA ini lebih tepat disebut “obsesi” ketimbang “aspirasi”. Saya sebut obesis, 1) Karena setelah kehilangan orientasi, setelah mengalami dislokasi, hukum tidak tegak, korupsi banyak, dan sebagainya, maka terjadilah idealisasi terhadap syariah. Seolah-olah syari’ah bisa menyelesaikan segalanya. Padahal persoalan internal di dalam syari’ah itu sendiri masih banyak yang “burem”. Kausus jilbab contohnya, bukankah sebagai ulama Hanafiyyah ada yang tidak mewajibkan kerudung?! Kasus pacaran?! Ranjam?! Dan sebagainya. 2) Tidak mempertimbangkan filsafat hukum yang cukup. Bukankah dalam filsafat hukum Islam itu terbaca bahwa sebuah hukum tidak akan berjalan baik kecuali memang masyarakat secara internal, setiap pribadi maupun masyarakat, sudah mempunyai kesiapan psikologis dan keagamaan. Benarkah kebanyakan masyarakat Tasikmalaya sudah siap?
Akhirnya, marilah kita perjuangan Islam yang kita anut bersama ini, Islam yang kita yakini sebagai jalan menuju kebahagian dunia akhirat, Islam yang punya pondasi rahmatan lil’alamin, dengan moralitas yag luhur, budi pekerti yang luhung, dengan menjungjung tinggi persatuan, persamaan, keadilan, kebebasan yang bernilai mulia dan kepatuhan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Wallahu ‘alam. []