Cari Blog Ini

Selasa, 14 Desember 2010

SYARI'AT ISLAM DAN KEBINEKAAN


Malam kamis kemarin (27/01), statisun TV Tasikmalaya, TAZTV, Alhamdulillah telah berani menayangkan satu tayangan diskusi penting. Syariat Islam di Kota Santri, demikian terbaca oleh kita di layar tv. Tentu saja diskusi ini diangkat karena Kota Tasik telah ketuk palu mensahkan satu perda yang tidak dinamai Syari’at Islam namun yang “isi”-nya sangat bernuansa Islam. Yang menjadi pembicara adalah KH. Amin Bustomi, M.Ag dan Drs. H. Makhfuddin Noor, M.Si.
Kebetulan, waktu itu saya ikut nelpon – setelah berkali-kali – akhirnya terdengar juga suara saya di tv. Di sana saya berargumen bahwa kalau Islam di legalkan sebagai hukum dunia, maka akan menginjak ayat jangan ada paksaan dalam agama (Q.S. Al-Baqarah:256). Oleh KH. Amin disangkal bahwa asbabun nuzul ayat ini khusus untuk orang non-Muslim. Saya tak ingin menyangkal hal asbabun nuzul menurut KH. Amin ini, sekalipun kita masih bisa berdebat untuk hal ini. Yang pasti, jika agama dilegalkan jadi hukum dunia seperti PERDA, maka dimensi ikhlas dalam menjalankan agama menjadi rusak. Perempuan memakai kerudung (yang semula tidak), jika kerudung dilegalkan keharusannya dalam PERDA, bisa jadi karena PERDA bukan lillahita’ala lagi.
Yang ingin saya katakana kali ini, KH. Amin pun berulang-ulang berkata dengan pengertian berislam harus kaffah. Kita kutip ayatnya, “Hai orang-orang beriman masuklah kedalam Islam secara kaffah – menyeluruh.” (Q.S. Al-Baqarah: 208). Padahal, jika melihat asbab nuzul ayat ini, maksud orang beriman disana adalah, menurut Tafsir Al-Kasaf karya Az-Zamakhsyari, Ahlul-Kitab yang telah beriman kepada Rasulullah dan Al-Quran. Kejadiannya begini: Abdullah bin Salam, Taslabah, Said bin Umar, Qais bin Zaid dan yang lainnya, orang-orang Yahudi yang sudah masuk Islam, namun mereka masih suka menjalankan ritual-ritual agama lamanya, mereka masih melakukan ritual sabat dan membaca Taurat dalam shalat. Lalu, turunlah ayat ini. (Tafsir Al-Kasaf, 1:251. Lihat juga, Khasiah Shawi ‘ala Tafsir Jalalain, 1: 133, Tafsir Ibnu Katsir, 1:249, Tafsir Baidhawi, 1:492).
Barangkali, KH. Amin punya referensi Kitab Tafsir lain yang berkata bahwa pengertian bahwa “orang beriman” dalam Al-Baqarah 209 di atas adalah kaum beriman atau kaum muslim dalam satu masyarakat seperti masyarakat Kota Tasikmalaya. Nah, disinilah masalahnya, ternyata benar bahwa kita harus berimam kepada Al-Quran dan As-Sunah, namun masalahnya sejarah mencatat bahwa kaum muslimin berbeda dalam menafsirkan kedua pegangan kita itu. Lalu, dari perbedaan menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah, lahirnya perbedaan jalan menuju Allah (syari’at). Inilah yang salah satu maksud dari ujaran saya bahwa Syari’at Islam itu “burem”. Maksudnya, jika toh Syari’at Islam kita legalkan dalam pengertian PERDA, mau syari’at persi siapa? Jika toh dipilih syariat menurut beberapa ulama, lalu apakah pendapat ulama yang berbeda dengan syari’at yang dilegalkan itu tidak boleh didengar oleh umat? Jika sudah demikian, maka masalahnya jelas, kepentingan politik. Dan sejarah Islam mencatat, keterpurukan Islam di panggung sejarah justru karena tarik-menarik kepentingan politik yang memuakkan.        
Baiklah kita tinggalkan argumen saya yang terlalu, mungkin bagi sebagian pembaca, mengada-ada. Bukankah dalam Islam dikenal konsep ijma’ ulama? Baiklah jika PERDA itu hasil dari ijma’ ulama Tasikmalaya. “Barang siapa yang berpendapat sesuai dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah menunaikan ijma’ (konsensus). Sebaliknya, barang siapa yang bertolak belakang dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah melanggar konsensus. Kelalaian hanya terjadi dalam keterpecahan dalam mencapai konsensus. Sedangkan konsensus tidak akan melahirkan kelalaian terhadap makna Al-Quran, As-Sunah dan Qiyas (analogi),” demikian Imam Syafi’I menulis dalam magnum ofus-nya, Ar-Risalah.
Kalimat Imam Syafi’I di atas disoroti Muhammad Syaltut, mantan rektor Al-Azhar Mesir, dalam kitabnya Al-Islam: Aqidah wa Syari’ah dengan sangat hati-hati, sampai Syekh Syaltut memberikan empat hal mendasar dalam ijma’. 1) al-imam bisawail al-bahs wa al-nadhar. Orang yang terlibat dalam ijma’ harus mempunyai kemampuan dalam analisis dan sintesis. Paham ilmu linguistik, kaidah-kadiah syari’at, sosiologi dan yang lainnya. 2) tu’raf buldanuhum al-muntasyir fi al-aqalim. Konsep ijma’ harus mewakili keterwakilan wilayah. 3) an yu’rafa ra’yu kulli wahidin minhum. Keterwakilan dalam ijma’ meniscayakan sebuah penguasaan atas setiap masalah secara konprehensif. Maksudnya, sekelompok yang akan mengambil ijma’ sejatinya turun ke lapangan secara langsung dan mengetahui persoalan sedetail-detailnya, sampai pada apakah umat sudah siap belum untuk bisa menerima hasil Ijma’ nantinya. 4) ittifaquhum jami’an fiha ‘ala ra’yin wahidin. Konsep keterwakilan dalam ijma’ mengandaikan adanya konsensus yang nantinya akan dijadikan acuan bersama.
Jiika kita sepakat dengan empat landasan ijma’ dari Muhammad Saltut ini, sudahkan ijma’ ulama yang disahkan dalam PERDA bernuansa Islam itu sudah memenuhi empat syarat di atas. Menurut Muhajir, seorang penelepon dari kawalu dalam acara tv itu, PERDA ini terkesan terburu-buru. Sekalipun guru saya KH. Makhfuddin menganggap bahwa pendapat Muhajir ini terkesan su’udhan kepada ulama, tetapi menurut saya apa yang dikatan Muhajjir ini benar adanya. Sebab, satu kaidah saja kita lihat, an yu’rafa ra’yu kulli wahidin minhum, apakah mereka yang membuat konsensus itu benar-benar turun ke lapangan dan mendengar aspirasi masyarakat luas. Diadakan dialog terbuka dahulu sebelumnya misalnya?! Justru saya melihat konsensus yang jadi PERDA ini lebih tepat disebut “obsesi” ketimbang “aspirasi”. Saya sebut obesis, 1) Karena setelah kehilangan orientasi, setelah mengalami dislokasi, hukum tidak tegak, korupsi banyak, dan sebagainya, maka terjadilah idealisasi terhadap syariah. Seolah-olah syari’ah bisa menyelesaikan segalanya. Padahal persoalan internal di dalam syari’ah itu sendiri masih banyak yang “burem”. Kausus jilbab contohnya, bukankah sebagai ulama Hanafiyyah ada yang tidak mewajibkan kerudung?! Kasus pacaran?! Ranjam?! Dan sebagainya. 2) Tidak mempertimbangkan filsafat hukum yang cukup. Bukankah dalam filsafat hukum Islam itu terbaca bahwa sebuah hukum tidak akan berjalan baik kecuali memang masyarakat secara internal, setiap pribadi maupun masyarakat, sudah mempunyai kesiapan psikologis dan keagamaan. Benarkah kebanyakan masyarakat Tasikmalaya sudah siap?
Akhirnya, marilah kita perjuangan Islam yang kita anut bersama ini, Islam yang kita yakini sebagai jalan menuju kebahagian dunia akhirat, Islam yang punya pondasi rahmatan lil’alamin, dengan moralitas yag luhur, budi pekerti yang luhung, dengan menjungjung tinggi persatuan, persamaan, keadilan, kebebasan yang bernilai mulia dan kepatuhan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Wallahu ‘alam. []

2 komentar:

  1. BAGI SAYA SEBAGAI GENERASI MUDA
    YANG PALING PENTING ADALAH HARUS TETAP DI ANALISIS TENTANG MASLAHATNYA

    BalasHapus
  2. terimakasih pa ,,, kini ku telah tau makna yang sesungguhnya tentang hakikat hidup sebagai penerus bangsa

    BalasHapus