Cari Blog Ini

Selasa, 14 Desember 2010

FUZZY LOGIC

FUZZY  LOGIC

Salah satu prinsip pokok dalam logika Aristutolian ada yang disebut dengan  principle of excluded middel, yakni prinsip ketidakmungkinan terjadinya tengah-tengah. Dengan prinsip ini, dunia dibagi kedalam dua katagori ekstrim: putih atau hitam, benar atau salah, mukmin atau kafir. Prinsip seperti ini terkenal dengan prinsip Either or. Either benar or salah, either mukmin or kafir. Tidak bisa benar dan salah berbarengan. Logika seperti ini selama berabad-abad mendominasi dunia melalui paradigma science positifistik.

Paradigma positipistik adalah satu paradigma yang menganggap bahwa alam ini merupakan satu “mesin raksasa”. Paradigma seperti ini melahirkan penelaahan science yang berkutat dengan ukuran dan kuantitas. Dari sini maka kedudukan alam ditempatkan sebagai budak manusia. Alam diburu dalam pengembaraannya, dikurung dalam kepastian keberadaannya, diikat dalam pelayanannya. Dan tujuan science adalah mengambil rahasia alam secara paksa.

Satu ciri khas yang menonjol dalam paradigma positipistik adalah materialisme, paham yang mengabaikan perananan jiwa. Menurut paradigma positipistik manusia hanyalah tubuh dan organ-organnya saja. Descartes, sebagai pelopor paradigma ini (sering disebut-sebut sebagai Bapak Filsapat Modern), berpandangan bahwa tubuh manusia itu seperti sebuah arloji, apabila dia sakit maka seperti sebuah arloji rusak, juga sebaliknya. Semuanya dibagi dalam dua katagori ekstrim, baik atau rusak.

Oleh karena itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang melandaskan paradigmanya kepada pemikiran Descartes ini melahirkan ilmu, seperti: warna dijelaskannya dengan memahami panjang gelombang, cinta dan benci dapat dilihat dari komposisi kimiawi zat yang dikeluarkan kelenjar,  kesedihan diputuskan pacar dapat diukur dengan berapa cc air mata yang keluar dan sebagainya.

Kemudian, dasar logika ini pulalah yang menjadi dasar dalam dunia komputer, yakni bilangan biner. Digital “yes” atau “no”, sampai “on” atau “off”. Harus pilih salah satu. Atau dalam dunia perlistrikkan logika seperti ini bisa kita lihat pada stop kontak kita. Stop kontak sekali pijit padam, sekali pijit nyala. Tidak ada pilihan.

Principle of excluded middel tidak hanya menjadi landasan dalam dunia science, tetapi – langsung ataupun tidak – merambah juga kepada ilmu agama Islam. Adanya konsep wujud (ada) dan adam (tidak ada) merupakan salah satu jawaban – kita perlu ingat bahwa dalam Al-Quran tidak ada kata wujud. Kemudian lebih jauhnya adalah dengan adanya madzhab Jabariyah  dan Qodariyah. Dua madzhab ini mempermasalahkan apakah perbuatan kita ini ditentukan Tuhan, atau ditentukan oleh kita sendiri, either ditentukan Tuhan dan or ditentukan kita. Kalau kita memilih ditentukan Tuhan, kita Jabariah; kalau memilih ditentukan kita, kita adalah Qodariyah. Dalam bidang lain pun sama, misalnya apakah seseorang itu kafir atau mukmin, kosepnya selalu pilihan antara dua.

 

Dunia Baru


Seorang fisikawan Iran Luthfi Zadeh, dengan kapasitas intelektualnya yang sangat mengagumkan, bukan hanya mengeritik tetapi juga menolak logika Aristutolian yang membagi dunia dalam dua jawaban seperti di atas. Kemudian dia mengeluarkan “logika tandingan” yang dikenal dengan fuzzy logic. Menurut fuzzy logic, di dunia itu tidak ada pembagian yang dualistik seperti itu. Dalam kenyataannya, suatu pernyataan itu bisa benar dan sekaligus juga salah dalam waktu bersamaan. Contohnya, daun hijau dan daun kuning. Tidak ada daun hijau yang benar-benar hijau, juga tidak ada daun kuning yang benar-benar kuning. Yang ada adalah berapa persen hijaunya dan berapa persen kuningnya dalam satu daun. Sebab selalu ada titik-titik kuning dalam daun hijau, begitu juga sebaliknya. Itulah yang disebut fuzzy.

Fuzzy logic tidak memperlakukan alam sebagai mesin. Sebab ilmu-ilmu berkembang melalui jawaban-jawaban sementara terhadap serangkaian pertanyaan yang semakin tajam, yang berusaha mencapai esensi fenomena alam yang semakin dalam. Teori Fisika menerangkan bahwa partikel-partikel subatomik itu bukan benda melainkan hubungan saling yang pada gilirannya adalah hubungan-hubungan (interkoneksi) antara benda-benda lain. Seperti ditulis Werner Heisenberg, yang dikutif  Fritjof Capra dalam The Web of Life:  “Demikian dunia tampak sebagai suatu jaringan rumit peristiwa-peristiwa, yang di dalamnya hubungan dalam jenis yang berbeda menggantikan atau tumpang tindih atau bergabung dan dengan demikian menentukan tenunan keseluruhan.” Alam ternyata tempat ketidakpastian yang merupakan jantung keratifitas. Dan kretifitas merupakan keharusan bahasa kepastian dari setumpuk ketidak pastian alam.

Untuk selanjutnya, fuzzy logic ini ternyata cocok dengan Tao, sebagai proses aliran dan perubahan yang terus menerus. Atau dalam falsapah Timur disebut dengan Yin Yang, yaitu kutub yang membatasi siklus perubahan. “Tatanan alam adalah suatu ‘keseimbangan’ dinamis antara yin dan yang,” kata Fritjof Capra dalam bukunya yang lain The Turning Point (Edisi Indonesia Titik Balik Peradaban, diterjemahkan oleh M. Thoyibi). Pemahaman seperti ini melahirkan Filsapat Proses, filsapat non-dialektika, yang dikembangkan matematikawan Inggris Alfred North Whitehead dan rekan senegaranya Henry Begerson. Filsapat proses menjelaskan bahwa realitas adalah proses yang terdiri dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang bersipat sementara. Hakekat proses itu adalah evolusi kreatif yang digerakan oleh semangat hidup atau elan vital.

Ketika Jepang dan Korea mengambil fuzzy logic, lahirlah teknologi yang sekarang ini menyaingi pasar-pasar dunia. Amerika, yang merasa tersaingi, menerapkan logika fuzzy ini dalam pengembangan teknologinya, padahal mulanya mempertanyakan apa implikasi praktis logika ini.  Contoh praktis dari penerapan teknologi yang didasarkan fuzzy logic ini, misalnya, sekarang sedang dikembangkannya artificial intelligence (kecerdasan artifisial) dalam dunia komputer. Atau yang lebih mudah dipahami adalah stop kontak yang bisa diatur kadar terangnya, yakni yang sekali pijit tidak terang juga tidak gelap, tetapi bisa diatur seberapa persen terangnya dan seberapa persen gelapnya.

Dalam dunia agama Islam ketika “terjangkiti” logika Aristutolian seperti diatas, apabila kita melacak pergolakannya, sebenarnya pada waktu itu juga konsep fuzzy logic ini telah diperkenalkan Ibnu ‘Arabi dengan taskikul wujud-nya. Menurut dia, wujud yang benar-benar wujud (wujud mutlak) itu hanya satu, Tuhan. Dan ‘adam mutlak jelas tidak ada. Dalam pandangan ulama sufi ini, manusia berada diantara dua titik itu, antara wujud dan 'adam. Manusia sedang berusaha memperoleh wujud. Mungkin ada yang memperoleh 80% wujud, ada yang baru 20% wujud, atau ada yang 99% masih ‘adam – artinya hanya 1% wujud – dan seterusnya. Dari sinilah kemudian Ibnu ‘Arabi memperkenalkan konsep barzah, konsep sebuah ruang antara: antara wujud dan ‘adam, dan seterusnya. Intinya adalah adanya gradasi. Nah, gradasi inilah sebagai hakekat dari fuzzy logic.

Gradasi adalah pondasi yang harus mengakar dalam kehidupan keagamaan kita, dimana tiap-tiap paham atau keyakinan mengklaim Kebenaran, yang dalam kenyataannya sangat berbeda satu-sama lain. Kebenaran (Al-Haqq) yang bersifat mutlak dan ideal hanya terwujud ketika segala tujuan hidup kita hanya untuk-Nya, atau dalam bahasa M. Quraish Shihab, “dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan.” (Membumikan Al-Quran).

Semua agama pasti mengklaim dialah penganut “Kebenaran”. Maka dari itu, kita tidak diperkenankan oleh agama untuk menghina keyakinan orang lain (Q.S. 49:11-12). Demikian juga menganggap diri paling benar, juga tidak diperkenankan (Q.S. 53:32). Sebuah ayat yang sudah sama-sama kita hapal dalam Al-Quran: “Bagimu agamamu. Bagiku agamaku” (Q.S. 109:6). Dengan demikian agama digunakan Rasulullah saw sebagai utama kekuatan moral (moral force) secara terus menerus untuk melahirkan etika humanistik (humanistic ethics). Perilaku yang murni religius dan humanis lebih diharapkan dan diperjuangkan dari pada formalisme agama yang sempit dan kaku. “Orang yang beragama seharusnya juga homo religious,” tulis YB. Mangunwijaya.  (Sastra dan Religiositas).

Fuzy logic mengajarkan kepada kita akan pentingnya, meminjam istilah Eric Form, keberagamaan humanistik dari pada keberagamaan otoritarian. Agama humanistik adalah agama yang pada akhirnya mengembangkan daya nalar, menyikapi segala perkembangan jaman secara kritis, sebab meyakini agama sebagai being bukan having. Sedangkan keberagaman otoritarian menandakan cirinya dengan persetujuan buta, bahkan emosional, terhadap otoritas yang telah ada, pemahaman mengunci dengan aturan, yang pada nantinya menghilangkan nalar kritis dan membawa kebencian terhadap keberagaman orang lain.

Intinya fuzy logic megajarkan kita untuk berlaku adil. Adil artinya tidak menggunakan standar ganda. Katakan baik kepada siapa saja yang berbuat baik, meskipun dia penganut agama lain. Dan katakan jelek kepada mereka yang berbuat jelek, meskipun dia adalah saudara seagama kita. Dengan keadilan seperti inilah kemudian kita mengenal istilah kafir amali (ingkar perbuatan) sebagai bahasa fuzy logic. Seorang muslim itu kafir pada waktu dia korupsi, kolusi, nepotsime, zina, judi dan lain sebagainya. Ibnu Taimiyah mengutip sebuah hadis dalam kitabnya Al-Iman, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah pezina pada saat berzina itu dia beriman; tidaklah orang yang meminum khamar pada saat meminumnya itu dia beriman; tidaklah pencuri saat ia mencuri itu dia beriman; dan tidaklah orang yang berteriak keras sehingga menakutkan orang banyak saat  itu dia beriman.”

Itulah sekelumit dari  fuzzy logic. Sebuah logika yang mengajarkan kepada kita semua akan pentingnya humanisme yang harus terus berlangsung menuju-Nya, sebab perjalanan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna menuju Yang Maha Sempurna niscaya menimbulkan gradasi. Semuanya bergantung pada tingkat dan kualitas ruhani kita masing-masing. Insyallah, kalau semua orang mengerti akan hal ini nantinya kita tidak akan mendengar lagi kerusuhan berbau SARA. Kita sama-sama berdoa.■

Pernah di Muat di REPUBLIKA.

1 komentar: